Paradigma fakta sejarah bukan untuk pengakuan diri!
12:00 AM
Paradigma pergolakan kehidupan selalu berubah setiap waktu
sesuai kadar dan kondisi ketika itu, jika kita membagi waktu kehidupan maka
akan terbagi menjadi tiga waktu yaitu kemarin, saat ini, dan hari esok. Siapa kita
kemarin itu menentukan siapa kita hari ini dan siapa kita hari esok tetapi
rumus tersebut tidaklah mutlak berlaku pada semua lini kehidupan. Roda kehidupan
selalu bergulir dan berubah, terkadang kita dibawah dan terkadang kita di atas.
Dahulu kita adalah seorang jenius tetapi belum tentu kita hari ini dan esok
adalah jenius juga karena semakin menua usia daya kerja otak akan semakin
menurun, dahulu sampai saat ini kita adalah pejabat belum tentu esok kita masih
menjadi pejabat karena suatu saat pasti akan pensiun juga, dahulu miskin
kemudian hari ini berubah menjadi kaya raya belum tentu hari esok akan tetap
kaya, barang kali kita akan jatuh miskin lagi. itu lah yang disebut dengan
paradigma, dari paradigma itulah akan muncul yang namanya sejarah.
Sejatinya sejarah lahir bukan semata atas pengakuan dirinya,
tetapi bagaimana orang lain menilai dirinya sehingga tercipta sebuah bukti
objektif siapa kita dan apa kapasitas kita. Semua lahir dari sejarah bukan dari
sebuah pengakuan sendiri.
Lalu adakah korelasinya antara fakta sejarah dengan pengakuan
diri? Ini lah yang menjadi paradigma dalam berkehidupan menurut saya. Walaupun faktanya
kita pernah mengalami semua hal yang menjadi nilai bagi diri. Kemudian dari
fakta sejarah tersebut, menjadi sebuah hukum yang mutlak bahwasanya manusia
selalu ingin mendapatkan pengakuan nilai dirinya dari orang lain. Berikut ini
ada salah satu contoh klausul yang menurut saya mengarah kepada pengakuan diri
dari fakta sejarah.
"tahukah anda siapa saya? saya adalah seorang aktivis yang telah mengabdi selama 10 tahun menjadi ketua, dan semua orang menyegani saya"
Dengan berbagai cara yang manusia lakukan semuanya mengarah kepada
pengakuan siapa aku dan ini lah aku. Karena itulah manusia adalah makhluk sosial yang selalu ingin
mendapatkan nilai dari orang lain.
Jikalau kita mengaca kepada sebuah pemahaman filosofis yang
dikemukakan oleh alfred schutz seorang filsuf sosial (1899 – 1959) yang
kebetulan beliau adalah muridnya husserl yang membidangi filsafat fenomenologi,
bahwa manusia selalu menginterpretasikan segala pengalamannya secara subjektif dengan
memberi tanda dan arti tentang apa yang pernah ia alami secara inderawi padahal
semua itu hanyalah sebuah kewajaran tanpa makna yang pasti selalu ada begitu
saja. Tetapi akan dikatakan bermakna apabila tindakan manusia secara sosial dipandang
secara objektif dengan berpedoman pada komunitas atau kelompok dilahirkan secara bersama-sama dan
dikonsepsikan oleh orang lain.
Dengan demikian setiap orang pasti selalu mengalami paradigma
dan fakta sejarahnya masing-masing, tetapi itu hanyalah sebuah kewajaran yang
tidak perlu kita artikan dan apalagi kita maknakan. Fakta sejarah akan bermakna
dan bernilai apabila orang lain yang mengkonsepsikannya.
0 komentar